Bab
I
Pendahuluan
A. Latar
belakang
Budaya
berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan
secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila
digabungkan menghasilkan arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi
tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan
pemikiran politik dan sistem politik yang dianut suatu negara beserta semua
struktur dan fungsi (interkasi dan tingkah laku) yang terdapat didalamnya.
Kebudayaan
politik di Indonesia pada dasarnya bersumber dari tingkah laku, pola dan
interaksi yang majemuk, Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku
”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. ada lima aliran pemikiran politik yang
mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme
Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah
yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau
sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Membicarakan
Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran politik yang secara
historis mewarnai perpolitikan di Indonesia.
Bab II
Pemikiran Politik Indonesia Pada Masa pergerakan
A.
Pemikiran
Politik Indonesia Masa Pergerakan
Pemikiran
politik masa pergerakan dimulai dari munculnya Budi Utomo pada tahun 1908.
Lahirnya organisasi ini merupakan tonggak awal pergerakan bangsa Indonesia
melawan kolonialisme. Setelah munculnya Budi Utomo, mulailah muncul
organisasi-organisasi lainnya yang juga berpikiran untuk melawan penjajahan.
Namun, yang perlu dicatat adalah ketika itu organisasi-organisasi yang
didirikan masih menamakan etnik/suku bangsanya masing-masing, bukan atas nama
Indonesia. Hal ini terbukti dari adanya organisasi-organisasi seperti Jong
Java, Jong Sumatrenan Bond, dan lainnya. Semangat pergerakan ini sendiri mulai
muncul semenjak runtuhnya “mitos kulit putih”, dimana ada anggapan bahwa orang
kulit putih adalah merupakan yang terkuat, super power, dan tidak bisa
dikalahkan. Anggapan ini hancur setelah kemenangan Jepang atas Rusia di perang
dunia, sehingga hal tersebut memicu semangat dari para pemuda Indonesia untuk
berjuang.
Pemikiran
pada masa pergerakan kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam upaya kemerdekaan
Indonesia, diantara tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sutan
Syahrir & Tan Malaka. Para tokoh inilah yang mewarnai aktivitas politik
pada masa pergerakan. Pemikrian politik yang paling dominan pada masa
pergerakan adalah pemikiran sosialisme demokrat yang pada waktu itu wacana
sosialisme demokrat di gagas oleh Soetan Syahrir dan Mohammad Hatta dalam wadah
Partai Sosial Demokrat (PSI) pada waktu itu.
Aliran
Sosialisme Demokrat mempunyai perbedaan dengan sosialis di Indonesia lainnya,
perbedaan terletak pada besarnya perhatian partai ini terhadap kebebasan
individu, keterbukaan terhadap arus intelektual dunia dan penolakan terhadap
obsercruantisme, chauvinisme, dan kultus individu. Pada tahun 1932 Syahrir dan
Hatta sekembalinya dari luar negeri mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia,
badan ini mengabdikan diri pada strategi pembentukan kader politik yang matang,
yang dapat berdiri sendiri dan dapat meneruskan kegiatan nasionalis meskipun
para pemimpinya tersingkir, dan terbukti pada tahun 1934 dua tahun setelah PNI
didirikan Syahrir dan Hatta di tangkap dan dibuang ke Indonesia Timur, dan baru
di bebaskan beberapa saat menjelang serbuan Jepang.
Syahrir
dan Hatta pada masa pendudukan Jepang memiliki jalan yang berbeda, Hatta dan
Soekarno bekerja sama dengan Jepang, sedangkan Syahrir memimpin suatu
organisasi bawah tanah untuk melawan mereka. Ketika Jepang menyerah kalah
setelah proklamasi kemerdekaan Sekutu menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri
mulai November 1945 sampai Juni 1947.
Sampai
awal tahun 1950an PSI tetap menjadi salah satu kekuatan politik yang penting,
dan namanya cukup berwibawa di luar negeri, tetapi di Indonesia sendiri
pengaruh partai ini lama-lama berkurang. Partai ini lebih banyak menarik para
cendikiawan di banding dengan partai-partai lainnya dan sering memegang peranan
penting dalam perdebatan-perdebatan politik. Tetapi pada akhir lima puluhan PSI
mendapat banyak kritikan karena tidak mengakar ke rakyat. Ketika Presiden
Sukarno menetapkan demokrasi terpimpin
Pandangan Bung Hatta berasal dari berbagai tulisan dan pidato beliau sewaktu di Eropa yang bermaksud untuk memperkenalkan Indonesia tentang cita-cita kebangsaan, penderitaan rakyat banyak, kekejaman perlakuan pemerintah Belanda terhadap rakyat dan pergerakan kebangsaan dan cara-cara yang menurutnya perlu dilakukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu. Pemikiran-pemikiran beliau untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda adalah :
Pandangan Bung Hatta berasal dari berbagai tulisan dan pidato beliau sewaktu di Eropa yang bermaksud untuk memperkenalkan Indonesia tentang cita-cita kebangsaan, penderitaan rakyat banyak, kekejaman perlakuan pemerintah Belanda terhadap rakyat dan pergerakan kebangsaan dan cara-cara yang menurutnya perlu dilakukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu. Pemikiran-pemikiran beliau untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda adalah :
1.
Non-koperasi, menurut
Hatta cara inilah satu-satunya yang harus ditempuh untuk mencapai kemerdekaan,
bagi Hatta non-koperasi berarti antara lain menolak duduk dalam dewan-dewan
perwakilan yang didirikan oleh pihak kolonial, baik dipusat maupun di daerah.
Non koperasi juga berarti menolak bekerja di lingkungan pemerintahan
kolonialisme.
2.
Percaya Pada Diri
Sendiri, untuk bisa melawan organisasi dan kekuatan kolonialisme perlu dibangun
rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri
yang semakin terkikis oleh kebijakan represif kolonialisme Belanda, rakyat
telah lama kena pukau ketidakmampuan dirinya, kata Hatta. Ini harus dibalikan,
harus percaya tentang kemampuannya.
3.
Persatuan, persatuan
yang mempersatukan segenap kekuatan dalam melawan kekuatan penjajah, untuk itu
menurut Hatta perlu lebih dahulu aksi massa, pembentukan kekuasaan yang bisa
dicapai lewat propaganda untuk menegakan persatuan dan solidaritas, kepercayaan
diri dan kesadaran diri.
B.
Definisi Bangsa dan Implikasinya
Ketika
masa-masa pergerakan, belum dikenal istilah nation-state yang kita
artikan seperti sekarang. Saat itu, pengertian bangsa diidentikkan dengan
etnik. Dari hal ini bisa dimenegrti bahwa ketika itu perjuangan melawan
kolonial masih terkotak-kotak, atau dengan kata lain perjuangannya masih
sendiri-sendiri, berdasarkan etnik. Pengertian bangsa sebagai etnik ditambahkan
oleh Rennan & Bauer dengan adanya karekter. Artinya, bangsa merupakan sekelompok
orang yang mempunyai pengalaman politik yang sama dan berusaha mempertahankan,
kelompok, karakter, dan daerahnya. Pendifinisian ini berdasarkan apa
yang terjadi di Eropa ketika itu. Akan tetapi, menurut Soekarno, pendefinisian
tadi belum sempurna karena belum memasukkan unsur tempat atau geopolitik yang
harus dipertahankan sampai mati.
Pemikiran
Soekarno ini memicu reaksi dari tokoh seperti Agus Salim, dan tokoh-tokoh Islam
lainnya. Mereka menganggap bahwa pemikiran seperti itu sama saja dengan bentuk
penyembahan berhala terhadap negara. Perdebatan inilah yang pada akhirnya
memicu polemik antara agama dan negara, khusunya yang terjadi disekitar era
‘30an dan ‘40an, ketika penentuan apa yang menjadi dasar negara saat Indonesia
menjelang kemerdekaannya. Dalam polemik ini, timbul dua kubu yang saling
mempertahankan argumennya masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari
tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, M. Natsir, dan A.
Hasan. Kelompok ini menyatakan bahwa agama dengan negara merupakan kesatuan
yang integral dan tidak bisa dipisahkan. Namun, kelompok lain--yaitu Soekarno
dan pendukung paham nasionalis lainnya--beranggapan bahwa agama dan politik
tidak bisa disatukan, mereka terpisah satu sama lain. Agaknya pemikiran
Soekarno ini diperngaruhi oleh pemikiran dari Kemal Ataturk, Bhipir Chandra
Boze, Syekh A. Raziq, Musthafa Kamil, Halida Edib Hanow, Sun Yat Sen, dll.
C.
Para Pemikir Islam
Menurut Agus Salim, dasar negara yang nasionalis hanya
akan menimbulkan chauvinisme atau nasionalisme sempit. Ini didasarkan atas
adanya peperangan yang terjadi di Eropa Barat karena perebutan daerah ekspansi
industri. Adanya akspansi ini didasarkan adanya rasa chauvinisme di kalangan
negara-negara Barat ketika itu. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Agus
Salim. Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa cinta bangsa seharusnya
diwujudkan dengan mendahulukan kepentingan bangsanya, seperti perbaikan
ekonomi, politik, dsb, bukan dengan membela negara sampai mati dan
mengesampingkan aspek-aspek lainnya.
Lain halnya dengan HOS Tjokroaminoto. Pemikir ini
agaknya lebih moderat, karena memperbolehkan dasar negara berasas nasionalisme
atau kebangsaan, namun dengan catatan tidak boleh sampai pada tahap
chauvinisme. Pandangan ini sangat berbeda dengan pemikiran A. Hasan yang
mengatakan bahwa paham kebangsaan atau nasionalisme dilarang dalam Islam dan
hukumnya haram, dosa jika dilakukan. Pemikiran ini didasarkan pada pemahaman
bahwa dalam Islam yang dipentingkan adalah kebersamaan umat, bukan konsep
negara yang memiliki sekat-sekat dan batas-batas kewilayahan.
Dalam hal tanggapan terhadap pemikiran Soekarno yang
nasionalis, Natsir beranggapan bahwa Soekarno kagum terhadap Kemal Ataturk yang
bisa merubah Turki menjadi negara modern setelah keterpurukannya dimasa dinasti
Usmaniyah, sampai-sampai dimasa itu Turki dijuluki the sick man of Europe.
Keberhasilan Kemal yang membuat Turki menjadi bangkit itulah yang menjadi salah
satu inspirator Soekarno untuk berpikir sekuler, atau memisahkan agama dan
negara. Akan tetapi, menurut Natsir, dinasti Usmani ketika itu tidaklah
mencerminkan Islam yang sesugguhnya. Terpuruknya dinasti Usmani dikarenakan
kesewenang-wenangan peguasa yang berkuasa ketika itu. Jadi anggapan bahwa
Turki menjadi terpuruk karena adanya penyatuan antara negara dan agama
merupakan anggapan yang keliru.
Para pemikir Islam masa pergerakan umumnya
menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, bukan nasionalisme,
atau yang lainnya. Namun, ide-ide dan pemikiran mereka terganjal karena sang
penguasa ketika itu, Soekarno, lebih menginginkan nasionalisme yang menjadi
dasar negara, yang dimanifestasikan dalam bentuk Pancasila.
D.
Para Pemikir Kebangsaan/Nasionalis
Menurut Syekh Abdul, dalam sumber hukum Islam, tidak
ada perintah untuk membuat negara Islam. Pemikiran ini agaknya memang benar
karena di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak diatur tentang bagaimana
seharusnya sebuah negara, atau dengan kata lain memang tidak ada perintah untuk
membangun sebuah negara Islam. Hal ini berbeda dengan pemikir sekuler lainnya
seperti Bipir Chandra Boze dan Sun Yat Sen, yang merupakan pejuang kaum
tertidas, sehingaa semangat nasionalisme mereka benar-benar tinggi. Lain lagi dengan
pemikiran dari Halida Edib Hanow dan Mustafa Kamil yang mengatakan bahwa saat
ini bukan zamannya lagi kekhalifahan, melainkan sekarang adalah zaman
nasionalisme.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ada kelompok
pemikir yang tidak menginginkan pencampuran unsur agama dan negara. Pemikiran
inilah yang diadopsi oleh Soekarno dalam meletakkan pondasi bagi bangsa
Indonesia. Inspirasi tentang pemikiran ini didapat dari beberapa tokoh
sekulerisme yang telah disebutkan diatas. Hal penting yang perlu diperhatikan
adalah prinsip nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno adalah
humanisme, bukan chauvinisme. Jadi Soekarno tetap mementingkan nilai-nilai
kemanusiaan dalam prinsip nasionalismenya.
Pemikiran Soekarno inilah yang akhirnya “memenangkan”
polemik tentang apa yang menjadi dasar bagi negara Indonesia. Dalam konstitusi,
diatur bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Namun, perdebatan
tersebut kembali memanas ketika perumusan kembali konstitusi dalam konstituante
untuk mengganti UUDS 1950. Perdebatan sengit kembali terjadi dalam meja
konstituante yang pada akhirnya dibubarkan oleh Soekarno melalui dekrit karena
dianggap tidak mampu menyelesaikan tugas untuk merumuskan konstitusi baru.
Akhirnya, berdasarkan dekrit pula, konstitusi kembali ke UUD 1945, dan dengan
kata lain dasar negara tetap Pancasila. Ini menyebabkan kekecewaan para kaum
pro Islam yang pada akhirnya nanti muncullah gerakan-gerakan ekstrimis Islam
yang radikal, seperti DI/TII.
Bab
III
Penutup
A. Kesimpulan
Pemikiran pada masa pergerakan
kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam upaya kemerdekaan Indonesia, diantara
tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sutan Syahrir & Tan
Malaka. Ketika masa-masa pergerakan, belum dikenal istilah nation-state
yang kita artikan seperti sekarang. Saat itu, pengertian bangsa
diidentikkan dengan etnik. Dari hal ini bisa dimenegrti bahwa ketika itu
perjuangan melawan kolonial masih terkotak-kotak, atau dengan kata lain
perjuangannya masih sendiri-sendiri, berdasarkan etnik. Pengertian bangsa
sebagai etnik ditambahkan oleh Rennan & Bauer dengan adanya karekter.
Artinya, bangsa merupakan sekelompok orang yang mempunyai pengalaman
politik yang sama dan berusaha mempertahankan, kelompok, karakter, dan
daerahnya.
Para pemikir Islam masa pergerakan umumnya
menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, bukan nasionalisme,
atau yang lainnya. Namun, ide-ide dan pemikiran mereka terganjal karena sang
penguasa ketika itu, Soekarno, lebih menginginkan nasionalisme yang menjadi
dasar negara, yang dimanifestasikan dalam bentuk Pancasila.
Daftar pustaka
www.google.com
No comments:
Post a Comment