Sunday, December 18, 2011

Teori dan Pemikiran Politik


Bab I
Pendahuluan

A.    Latar belakang

Budaya berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan pemikiran politik dan sistem politik yang dianut suatu negara beserta semua struktur dan fungsi (interkasi dan tingkah laku) yang terdapat didalamnya.

Kebudayaan politik di Indonesia pada dasarnya bersumber dari tingkah laku, pola dan interaksi yang majemuk, Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Membicarakan Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di Indonesia.






Bab II
Pemikiran Politik Indonesia Pada Masa pergerakan

A.    Pemikiran Politik Indonesia Masa Pergerakan

Pemikiran politik masa pergerakan dimulai dari munculnya Budi Utomo pada tahun 1908. Lahirnya organisasi ini merupakan tonggak awal pergerakan bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Setelah munculnya Budi Utomo, mulailah muncul organisasi-organisasi lainnya yang juga berpikiran untuk melawan penjajahan. Namun, yang perlu dicatat adalah ketika itu organisasi-organisasi yang didirikan masih menamakan etnik/suku bangsanya masing-masing, bukan atas nama Indonesia. Hal ini terbukti dari adanya organisasi-organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatrenan Bond, dan lainnya. Semangat pergerakan ini sendiri mulai muncul semenjak runtuhnya “mitos kulit putih”, dimana ada anggapan bahwa orang kulit putih adalah merupakan yang terkuat, super power, dan tidak bisa dikalahkan. Anggapan ini hancur setelah kemenangan Jepang atas Rusia di perang dunia, sehingga hal tersebut memicu semangat dari para pemuda Indonesia untuk berjuang.
Pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam upaya kemerdekaan Indonesia, diantara tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sutan Syahrir & Tan Malaka. Para tokoh inilah yang mewarnai aktivitas politik pada masa pergerakan. Pemikrian politik yang paling dominan pada masa pergerakan adalah pemikiran sosialisme demokrat yang pada waktu itu wacana sosialisme demokrat di gagas oleh Soetan Syahrir dan Mohammad Hatta dalam wadah Partai Sosial Demokrat (PSI) pada waktu itu.
Aliran Sosialisme Demokrat mempunyai perbedaan dengan sosialis di Indonesia lainnya, perbedaan terletak pada besarnya perhatian partai ini terhadap kebebasan individu, keterbukaan terhadap arus intelektual dunia dan penolakan terhadap obsercruantisme, chauvinisme, dan kultus individu. Pada tahun 1932 Syahrir dan Hatta sekembalinya dari luar negeri mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, badan ini mengabdikan diri pada strategi pembentukan kader politik yang matang, yang dapat berdiri sendiri dan dapat meneruskan kegiatan nasionalis meskipun para pemimpinya tersingkir, dan terbukti pada tahun 1934 dua tahun setelah PNI didirikan Syahrir dan Hatta di tangkap dan dibuang ke Indonesia Timur, dan baru di bebaskan beberapa saat menjelang serbuan Jepang.
Syahrir dan Hatta pada masa pendudukan Jepang memiliki jalan yang berbeda, Hatta dan Soekarno bekerja sama dengan Jepang, sedangkan Syahrir memimpin suatu organisasi bawah tanah untuk melawan mereka. Ketika Jepang menyerah kalah setelah proklamasi kemerdekaan Sekutu menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri mulai November 1945 sampai Juni 1947.
Sampai awal tahun 1950an PSI tetap menjadi salah satu kekuatan politik yang penting, dan namanya cukup berwibawa di luar negeri, tetapi di Indonesia sendiri pengaruh partai ini lama-lama berkurang. Partai ini lebih banyak menarik para cendikiawan di banding dengan partai-partai lainnya dan sering memegang peranan penting dalam perdebatan-perdebatan politik. Tetapi pada akhir lima puluhan PSI mendapat banyak kritikan karena tidak mengakar ke rakyat. Ketika Presiden Sukarno menetapkan demokrasi terpimpin
Pandangan Bung Hatta berasal dari berbagai tulisan dan pidato beliau sewaktu di Eropa yang bermaksud untuk memperkenalkan Indonesia tentang cita-cita kebangsaan, penderitaan rakyat banyak, kekejaman perlakuan pemerintah Belanda terhadap rakyat dan pergerakan kebangsaan dan cara-cara yang menurutnya perlu dilakukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu. Pemikiran-pemikiran beliau untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda adalah :
1.      Non-koperasi, menurut Hatta cara inilah satu-satunya yang harus ditempuh untuk mencapai kemerdekaan, bagi Hatta non-koperasi berarti antara lain menolak duduk dalam dewan-dewan perwakilan yang didirikan oleh pihak kolonial, baik dipusat maupun di daerah. Non koperasi juga berarti menolak bekerja di lingkungan pemerintahan kolonialisme.
2.      Percaya Pada Diri Sendiri, untuk bisa melawan organisasi dan kekuatan kolonialisme perlu dibangun rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri yang semakin terkikis oleh kebijakan represif kolonialisme Belanda, rakyat telah lama kena pukau ketidakmampuan dirinya, kata Hatta. Ini harus dibalikan, harus percaya tentang kemampuannya.
3.      Persatuan, persatuan yang mempersatukan segenap kekuatan dalam melawan kekuatan penjajah, untuk itu menurut Hatta perlu lebih dahulu aksi massa, pembentukan kekuasaan yang bisa dicapai lewat propaganda untuk menegakan persatuan dan solidaritas, kepercayaan diri dan kesadaran diri.

B.     Definisi Bangsa dan Implikasinya
Ketika masa-masa pergerakan, belum dikenal istilah nation-state yang kita artikan seperti sekarang. Saat itu, pengertian bangsa diidentikkan dengan etnik. Dari hal ini bisa dimenegrti bahwa ketika itu perjuangan melawan kolonial masih terkotak-kotak, atau dengan kata lain perjuangannya masih sendiri-sendiri, berdasarkan etnik. Pengertian bangsa sebagai etnik ditambahkan oleh Rennan & Bauer dengan adanya karekter. Artinya, bangsa merupakan sekelompok orang yang mempunyai pengalaman politik yang sama dan berusaha mempertahankan, kelompok, karakter, dan daerahnya. Pendifinisian ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa ketika itu. Akan tetapi, menurut Soekarno, pendefinisian tadi belum sempurna karena belum memasukkan unsur tempat atau geopolitik yang harus dipertahankan sampai mati.
Pemikiran Soekarno ini memicu reaksi dari tokoh seperti Agus Salim, dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Mereka menganggap bahwa pemikiran seperti itu sama saja dengan bentuk penyembahan berhala terhadap negara. Perdebatan inilah yang pada akhirnya memicu polemik antara agama dan negara, khusunya yang terjadi disekitar era ‘30an dan ‘40an, ketika penentuan apa yang menjadi dasar negara saat Indonesia menjelang kemerdekaannya. Dalam polemik ini, timbul dua kubu yang saling mempertahankan argumennya masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, M. Natsir, dan A. Hasan. Kelompok ini menyatakan bahwa agama dengan negara merupakan kesatuan yang integral dan tidak bisa dipisahkan. Namun, kelompok lain--yaitu Soekarno dan pendukung paham nasionalis lainnya--beranggapan bahwa agama dan politik tidak bisa disatukan, mereka terpisah satu sama lain. Agaknya pemikiran Soekarno ini diperngaruhi oleh pemikiran dari Kemal Ataturk, Bhipir Chandra Boze, Syekh A. Raziq, Musthafa Kamil, Halida Edib Hanow, Sun Yat Sen, dll.

C.     Para Pemikir Islam

Menurut Agus Salim, dasar negara yang nasionalis hanya akan menimbulkan chauvinisme atau nasionalisme sempit. Ini didasarkan atas adanya peperangan yang terjadi di Eropa Barat karena perebutan daerah ekspansi industri. Adanya akspansi ini didasarkan adanya rasa chauvinisme di kalangan negara-negara Barat ketika itu. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Agus Salim. Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa cinta bangsa seharusnya diwujudkan dengan mendahulukan kepentingan bangsanya, seperti perbaikan ekonomi, politik, dsb, bukan dengan membela negara sampai mati dan mengesampingkan aspek-aspek lainnya.

Lain halnya dengan HOS Tjokroaminoto. Pemikir ini agaknya lebih moderat, karena memperbolehkan dasar negara berasas nasionalisme atau kebangsaan, namun dengan catatan tidak boleh sampai pada tahap chauvinisme. Pandangan ini sangat berbeda dengan pemikiran A. Hasan yang mengatakan bahwa paham kebangsaan atau nasionalisme dilarang dalam Islam dan hukumnya haram, dosa jika dilakukan. Pemikiran ini didasarkan pada pemahaman bahwa dalam Islam yang dipentingkan adalah kebersamaan umat, bukan konsep negara yang memiliki sekat-sekat dan batas-batas kewilayahan.

Dalam hal tanggapan terhadap pemikiran Soekarno yang nasionalis, Natsir beranggapan bahwa Soekarno kagum terhadap Kemal Ataturk yang bisa merubah Turki menjadi negara modern setelah keterpurukannya dimasa dinasti Usmaniyah, sampai-sampai dimasa itu Turki dijuluki the sick man of Europe. Keberhasilan Kemal yang membuat Turki menjadi bangkit itulah yang menjadi salah satu inspirator Soekarno untuk berpikir sekuler, atau memisahkan agama dan negara. Akan tetapi, menurut Natsir, dinasti Usmani ketika itu tidaklah mencerminkan Islam yang sesugguhnya. Terpuruknya dinasti Usmani dikarenakan kesewenang-wenangan peguasa yang berkuasa ketika itu. Jadi anggapan bahwa Turki menjadi terpuruk karena adanya penyatuan antara negara dan agama merupakan anggapan yang keliru.

Para pemikir Islam masa pergerakan umumnya menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, bukan nasionalisme, atau yang lainnya. Namun, ide-ide dan pemikiran mereka terganjal karena sang penguasa ketika itu, Soekarno, lebih menginginkan nasionalisme yang menjadi dasar negara, yang dimanifestasikan dalam bentuk Pancasila.


D.    Para Pemikir Kebangsaan/Nasionalis

Menurut Syekh Abdul, dalam sumber hukum Islam, tidak ada perintah untuk membuat negara Islam. Pemikiran ini agaknya memang benar karena di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak diatur tentang bagaimana seharusnya sebuah negara, atau dengan kata lain memang tidak ada perintah untuk membangun sebuah negara Islam. Hal ini berbeda dengan pemikir sekuler lainnya seperti Bipir Chandra Boze dan Sun Yat Sen, yang merupakan pejuang kaum tertidas, sehingaa semangat nasionalisme mereka benar-benar tinggi. Lain lagi dengan pemikiran dari Halida Edib Hanow dan Mustafa Kamil yang mengatakan bahwa saat ini bukan zamannya lagi kekhalifahan, melainkan sekarang adalah zaman nasionalisme.

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ada kelompok pemikir yang tidak menginginkan pencampuran unsur agama dan negara. Pemikiran inilah yang diadopsi oleh Soekarno dalam meletakkan pondasi bagi bangsa Indonesia. Inspirasi tentang pemikiran ini didapat dari beberapa tokoh sekulerisme yang telah disebutkan diatas. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah prinsip nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno adalah humanisme, bukan chauvinisme. Jadi Soekarno tetap mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam prinsip nasionalismenya.

Pemikiran Soekarno inilah yang akhirnya “memenangkan” polemik tentang apa yang menjadi dasar bagi negara Indonesia. Dalam konstitusi, diatur bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Namun, perdebatan tersebut kembali memanas ketika perumusan kembali konstitusi dalam konstituante untuk mengganti UUDS 1950. Perdebatan sengit kembali terjadi dalam meja konstituante yang pada akhirnya dibubarkan oleh Soekarno melalui dekrit karena dianggap tidak mampu menyelesaikan tugas untuk merumuskan konstitusi baru. Akhirnya, berdasarkan dekrit pula, konstitusi kembali ke UUD 1945, dan dengan kata lain dasar negara tetap Pancasila. Ini menyebabkan kekecewaan para kaum pro Islam yang pada akhirnya nanti muncullah gerakan-gerakan ekstrimis Islam yang radikal, seperti DI/TII.
























Bab III
Penutup

A.    Kesimpulan

Pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam upaya kemerdekaan Indonesia, diantara tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sutan Syahrir & Tan Malaka. Ketika masa-masa pergerakan, belum dikenal istilah nation-state yang kita artikan seperti sekarang. Saat itu, pengertian bangsa diidentikkan dengan etnik. Dari hal ini bisa dimenegrti bahwa ketika itu perjuangan melawan kolonial masih terkotak-kotak, atau dengan kata lain perjuangannya masih sendiri-sendiri, berdasarkan etnik. Pengertian bangsa sebagai etnik ditambahkan oleh Rennan & Bauer dengan adanya karekter. Artinya, bangsa merupakan sekelompok orang yang mempunyai pengalaman politik yang sama dan berusaha mempertahankan, kelompok, karakter, dan daerahnya.

Para pemikir Islam masa pergerakan umumnya menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, bukan nasionalisme, atau yang lainnya. Namun, ide-ide dan pemikiran mereka terganjal karena sang penguasa ketika itu, Soekarno, lebih menginginkan nasionalisme yang menjadi dasar negara, yang dimanifestasikan dalam bentuk Pancasila.










Daftar pustaka

www.google.com

No comments:

Post a Comment